Senin, 01 Desember 2014

Cinta Dalam Tabung Gas


Keluarga kami memiliki sebuah warung kecil yang terletak tepat di sudut depan rumah, sebuah warung yang menjual berbagai kebutuhan ringan sehari-hari mulai dari sabun, gula, mie instan, dan beberapa makanan ringan. Warung kelontong ini awalnya dibangun sebagai pemenuh kebutuhan sehari-hari bagi keluarga kami agar lebih mudah tersedia 24 jam, namun seiring berjalannya waktu saat kondisi ekonomi mengalami penurunan, keuntungan dari penjualan barang-barang di warung kecil itu sedikit banyak membantu kami dalam memenuhi kebutuhan hidup.

Dulu warung kami adalah satu-satunya di deretan gang kampung, tentu waktu itu masih banyak pilihan untuk menjual berbagai macam barang dagangan, namun kini setelah ada beberapa tetangga yang ikut membuka usaha serupa, setidaknya kami harus saling toleransi, dan nyatanya kami bisa melakukannya, meski jenis usaha sama, andalan barang niaga kami berbeda satu sama lain.

Nah, salah satu yang jadi andalan jualan warung kami adalah gas LPG, si ijo kecil 3 kg yang sering dipakai sebagai bahan bakar memasak dalam rumah tangga itu menjadi primadona barang niaga di warung kami, setidaknya itulah yang terlihat sehari-hari dari cara ibu memperjuangkannya, Ibu, ya Ibu lah yang bertugas mengatur, menjalankan warung kami, dan Ibu sangat begitu sensitif dengan barang dagangan ini.

Setiap hari, setiap waktu saat bersama keluarga selalu ada saja cerita baru yang dituturkan Ibu mengenai gas, cerita distributor, kelangkaan, para pelanggan, mulai dari yang lucu, jengkel, nggemesin, semua ada. Bahkan jika ringtone hape Ibu berdering, sampai-sampai kami sekeluarga bisa memastikan 90 % adalah masalah gas, 5% sms nyasar dan pemberitahuan tidak penting dari provider kartu seluler, 5% sisanya lain, lain.

Pernah juga suatu kali saya berdebat dengan Ibu karena masalah gas, ceritanya karena saya capek saya pun malas untuk mengambil gas ke distributor,

"Nanti sajalah sorean, masih panas" kata saya.

Namun Ibu malah berkata lain dan tetap pada pendiriannya "Sekarang!" katanya.

Saya pun berangkat dengan setengah hati, memang sering saya berpikir Ibu terlalu berlebihan dengan barang yang satu ini, bahkan saya sampai tak habis pikir kenapa sampai sebegitu ketergantungannya Ibu pada gas, hingga satu kejadian mengubah pandangan saya.

Suatu petang ketika hujan tengah turun dengan derasnya kami sedang sibuk dengan urusan masing-masing, Ayah saat itu berada di ruang tengah, saya sendiri asyik menonton bola di televisi tiba-tiba dikejutkan dengan suara berdebam dari arah halaman depan, suara jatuh tabung gas yang lumayan keras itu kemudian diikuti suara teriakan adik saya.

Ayah yang dari dalam pun sontak langsung keluar dan saya menyusul di belakangnya,

Saat berada di tempat kejadian, betapa terkejut saat tahu bahwa ternyata bukan hanya tabung gas yang jatuh, namun juga beserta ibu yang terjerembab di lantai masih dengan mengenakan mantolnya, terpeleset karena lantai lincin, Ayah segera memapah Ibu ke dalam, dan tangan Ibu mengalami kesleo.

Malam itu saya sempat berpikir.. saat hujan begini, dan Ibu tetep keukeuh untuk mengambil gas dari sebuah distributor, saya jadi bertanya pasti bukan hanya karena alasan niaga disana, pasti ada sesuatu yang lain.

Dan benar saja, saya baru tahu sesuatu yang lain itu, saat saya menyantap hidangan di meja makan ketika rehat dari pekerjaan. Bahwa ternyata di setiap nasi dan lauk pauk yang saya makan tersebut di setiap harinya, itulah saat-saat dimana Tuhan menunjukkan nikmatnya kepada manusia, lewat tangan seorang Ibu.

Karena Ibu memasaknya dari beberapa hasil laba jualan warung kami termasuk gas. Benda yang saban hari diperjuangkannya, terlihat menyita pikirannya, benda yang kadang selama ini selalu membuat saya kesal, ternyata bermuara ke bagian yang sangat menyentuh hati saya. Sesuatu yang terlihat kecil namun berubah jadi begitu berarti karena ada campurtangan Ibu disitu, ada kandungan ketulusan dan kehangatan, sesuatu yang dilakukan dari hati memang pada akhirnya akan sampai ke hati.

Ah jika hati Ibu seluas samudera, bagi saya pribadi ada ungkapan yang lebih sederhana, yaitu ada hati seorang ibu, ada sebuah cinta darinya, dalam setiap tabung gas.

Dan saya berterima kasih karena itu.



Artikel ini diikutsertakan pada Kontes Unggulan: Hati Ibu Seluas Samudera